Tim Sap7aranu
telah menyelesaikan Expedisi menjelajah 7 Danau di Sumatera. 52 Hari
telah ditempuh, total 8000 Km telah mereka lalui dengan segudang
pengalaman Indah dan menakjubkan. Sumatera, tidak salah jika leluhur
kita menyebutnya Swarnadwipa yang berarti Pulau Emas. Memang emas
bertebaran di berbagai tempat yang kami kunjungi. Tidak secara literal
berbentuk bongkahan emas, tapi berupa kekayaan alam, pemandangan,
keramahan penduduk, kuliner, cerita rakyat dan masih banyak hal lainnya.
Mulai dari Lampung: dalam perjalanan
menuju ke Danau Ranau kami menyusuri pantai sejak dari Bengkunat hingga
Krui. Sebagian berombak besar sehingga memungkinkan untuk berselancar.
Kami bertemu dengan turis asing asal Perancis yang sudah 13 tahun
pulang/pergi ke Krui.
”I like this country very much that I’m willing to stay here”. Sebegitu sukanya dia bahkan bersedia untuk tinggal di sana.
Bengkunat adalah tempat kami pertama kali
merasakan Teh Talua. Bagian merah telur ayam yang dikocok dan diseduh
air dengan mendidih lalu dituangi air teh dan susu.
Di Lumbok, kami bertemu dengan pemuda
setempat yang membangun tempat-tempat menginap dan warung-warung makan.
Memanfaatkan rendahnya tingkat hunian kamar di Lumbok Resort,
satu-satunya hotel mewah di sana, akibat akses yang tidak memadai.
Lumbok
memberikan tempat bagi mereka yang tekun dan berinisiatif. Kami bertemu
dengan Pak Sadjum, asal Panjalu, Ciamis Utara, yang menetap di sana
sejak harga beras masih Rp. 3 per Kilogram. Dia sukses menjadi petani
pisang di lahan seluas 2 hektar tapi keberhasilan itu tak membuatnya
mengubah kesehariannya.
Kami juga bertemu dengan Pak Muslim asal
Demak yang mengadu nasib bukan di belantara beton metropolitan melainkan
di Lumbok, menjadi petani dan pedagang pengumpul buah alpukat untuk
dijual ke Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur.
Memasuki propinsi Bengkulu, kami menginap
di Air Rami. Sebuah kota pantai yang kecil tapi penduduknya giat
bekerja sebagai nelayan. Di sana tidak ada Tempat Pelelangan Ikan.
Nelayan bisa langsung menjual ikan hasil tangkapan ke pasar atau dijual
secara borongan. Pak Lukman Hakim adalah salah seorang nelayan yang
berhasil. Dia menyisakan uang rupiah demi rupiah untuk dibelikan lahan
Kelapa Sawit. Dia membiayai kuliah putrinya di IAIN Padang.
Air Rami memiliki lokasi yang potensial
untuk dijadikan tempat wisata pantai. Ada sebuah laguna yang berair
tenang. Bayangan langit berawan sangat jelas nampak di airnya. Kami
mandi di sungai berair jernih. Badan yang masih basah terasa segar
tertiup angin semilir.
Lepas dari kota Bengkulu kami bergerak ke
arah Tapan untuk menuju ke Sungai Penuh. Kota terdekat untuk mencapai
Danau Kerinci. Melintasi Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat
ketegangan berkendara meningkat drastis. Jalur yang kami tempuh berupa
aspal terkelupas; kerikil; lumpur bekas longsoran sementara di sisi kiri
ada jurang yang entah berapa puluh meter dalamnya. Sementara ponsel
kami kehilangan signal.
Di
Danau Kerinci kami disambut dengan ramah oleh penduduk. Kami berbaur
dengan mereka di sebuah warung. Ketika menanyakan lokasi untuk berkemah,
pak Muhammad Zein, salah seorang dari mereka melarang. Tapi malah
menyediakan rumahnya untuk kami menginap. Tidak hanya kamar tidur yang
nyaman tapi juga cerita-cerita menarik yang kami dapatkan.
Di Desa Muak, Kerinci, kami diajak untuk melihat situs purbakala berupa batu berukir relief dan lesung.
Bergerak menuju ke Sumatra Barat kami
melintasi Kayu Aro, sebuah perkebunan teh tertua di Indonesia dan
terluas di dunia. Aroma dan rasa teh yang berbeda daripada yang biasa
kami minum, yaitu tanpa rasa pahit.
Di Muara Labuh kami kembali main di
sungai yang jernih. Ketahanan pangan di daerah ini diwakili oleh
banyaknya lumbung padi khas Ranah Minang, yaitu bangunan dengan
penampang segi empat sama sisi yang membesar di bagian atas.
Tiba
di Alahan Panjang kami buka tenda di tepi Danau Diateh. Warga desa
bergotong-royong membangun jalan lingkar danau untuk kemudahan akses
bagi pewisata. Sebagian tanah mereka direlakan untuk dijadikan jalan.
Kerja sama ini dipelopori oleh Perkumpulan Guru Alahan Panjang atas dana
swadaya.
Kecuali Danau Diateh, Danau Dibawah dan
Danau Talang dikelola oleh pemuda setempat berbentuk pungutan liar.
Akibatnya fasilitas umum menjadi tidak terpelihara.
Dari Alahan Panjang kami menuju ke Lubuk
Basung. Kota kecil ini menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Agam. Di
perjalanan kami singgah di Pantai Air Manis. Di sini ada batu berbentuk
orang bersujud. Juga ada bebatuan yang menyerupai reruntuhan kapal,
lengkap dengan tong air dan tambang besar. Konon batu itu adalah Malin
Kundang beserta kapalnya.
Lubuk Basung kami tinggalkan keesokan
harinya untuk menuju ke Padang Sidimpuan melalui jalur Rimbo Panti, Rao
dan Kotanopan. Di Rao kami bertemu dengan Pak Mursyid, mantan penyiar
RRI angkatan Sigit Kamseno dan Ahmad Syarif. Pak Mursyid lebih memilih
untuk pensiun di Rao daripada tempat asalnya di Tanah Abang, Jakarta
Pusat.
Esok harinya kami menuju ke Barus. Kota
pelabuhan kecil yang terkenal hingga ke Mesir sejak zaman raja Firaun
berkuasa. Daerah ini adalah penghasil Kapur yang merupakan bahan untuk
mengawetkan jenazah raja-raja Mesir. Kami bertemu dengan Angku Juhri
Tanjung, seorang tetua desa yang mengetahui secara langsung kepunahan
pohon Kapur Barus.
Barus juga merupakan tempat pertama kali
ajaran Islam disebar di Nusantara pada tahun 700 Masehi. Pembawa ajaran
ini dikenal sebagai Aulia 44, yaitu orang-orang berilmu agama yang
dipimpin oleh Syekh Mahmud. Beliau dimakamkan di puncak bukit yang
disebut Papan Tenggi.
Di perjalanan antara Barus ke Sidikalang
kami melihat bekas-bekas pembalakan liar. Pepohonan habis ditebangi
sehingga punggung bukit terlihat gundul. Di beberapa tempat bahkan
terjadi longsoran. Timbunan tanah memenuhi badan jalan sehingga lintasan
berubah menjadi lumpur.
Dari Sidikalang ke Kutacane kami melintasi jalur di tengah-tengah perkebunan kemiri terbesar yang pernah kami lihat.
Di gerbang memasuki propinsi Aceh kami
berhenti; berfoto; berpelukan satu sama lain dan mengenang segala proses
yang kami lalui. Kami jadi sentimentil. Sepanjang ± 10 km kami
berkendara memasuki Kutacane tanpa bercakap; tanpa canda; tanpa gelak
tawa seperti biasa. Masing-masing hanyut terbawa arus perasaan. Namun,
terlepas dari itu semua, kami merasa senang bisa melalui segalanya
hingga mencapai tahap ini.
Jalur di antara Kutacane dan Takengon
melalui Blang Kejeren hampir sama dengan lintasan di Taman Nasional
Kerinci Seblat. Hal yang membuat lebih tegang adalah bahwa kami
berkendara dalam gelap melintasi hutan lebat Taman Nasional Gunung
Leuser dalam cuaca hujan deras. Kami hanya bertemu dengan 10 buah mobil
sepanjang perjalanan.
Takengon bagaikan sebuah mangkuk es
campur berada di tengah lembah yang dikelilingi oleh pergunungan;
berisikan masyarakat heterogen yang keras dalam prinsip namun mencair
dan manis ketika kami berbaur. Kami mendapatkan banyak informasi tentang
Putri Pukes, cerita rakyat seputar Danau Laut Tawar. Di Bukit Mendali
kami berkunjung ke situs purbakala temuan tahun 2009. Sekelompok
arkeolog pimpinan Ketut Wiradnyana dari Balai Arkeologi Medan melakukan
penelitian atas temuan itu dan menyimpulkan bahwa kerangka manusia purba
yang berusia sejak 7400 tahun sebelum masehi adalah nenek moyang suku
Gayo dan Batak.
Gayo terkenal dengan kopinya. Di Takengon
kami mencicipi kopi saring dengan harga yang sangat murah: Rp. 2.000,-
per gelas. Karena tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang
pengolahan kopi maka kami meluangkan waktu untuk pergi ke perkebunan
kopi Atu Lintang. Kopi Gayo sukses di pasar internasional. Harganya
mencapai Rp. 75.000,- per Kilogram. Masuk dalam kriteria tiga besar kopi
terbaik, mengalahkan Brazil dan Tanzania. Namun nasib petani kopi di
Atu Lintang berbanding terbalik dengan sukses internasional tersebut.
Kesejahteraan mereka jauh dibawah standar Kebutuhan Fisik Minimum.
Dari Atu Lintang kami bergerak menuju ke
Banda Aceh melalui Tebing Cot Panglima. Daerah ini merupakan tempat
peristirahatan tentara Divisi X yang dipimpin oleh Kolonel Hussin Yussuf
ketika membawa radio komunikasi ke Bener Meriah pada tahun 1945.
Di Banda Aceh kami melihat bekas-bekas
hantaman Tsunami Aceh pada tahun 2004. Rekaman peristiwa di Museum
Tsunami meninggalkan luka bagi banyak pihak. Museum itu sendiri dibangun
agar masyarakat umum bisa mendapatkan informasi yang jelas tentang
dampak negatif Tsunami. Tentunya juga harus menjadi lebih mawas diri dan
menyadari bahwa ada Kekuatan Maha Dahsyat yang bisa meluluh-lantakkan
segalanya dalam sekejap.
Kami sangat senang ketika kapal feri yang
kami tumpangi bergerak meninggalkan pelabuhan Ulee Lhue menuju ke Pulau
Weh. Di sisi lain juga ada perasaan sedih karena jatah waktu perjalanan
yang kami punyai semakin berkurang. Di sepanjang perjalanan kami
menemukan banyak hal yang menarik untuk diceritakan. Tapi karena
keterbatasan waktu menyebabkan kami tidak bisa berlama-lama di satu
tempat.
Tiba di Pulau Weh, kami menuju ke Lhok
Iboih. Sebuah tempat di teluk Sabang. Di sini kami mendapatkan informasi
bahwa perairan di sekitar Lhok Iboih adalah Taman Nasional Biota Laut
terbaik kedua setelah Bunaken. Kami menyelam dan mengambil beberapa foto
terumbu karang dan keindahan kehidupan bawah laut Indonesia paling
barat.
Kami menyelam di selat antara Pulau
Sabang dan Pulau Rubiah yang terletak di utara Pulau Sabang. Perairan di
sekitar merupakan habitat dari Ikan Nemo dan berbagai ikan dengan warna
beragam. Di Pulau Rubiah ada sebuah bangunan tua yang dulu dijadikan
karantina calon jemaah haji ketika pergi haji masih menggunakan kapal
laut. Bangunan kuno dan bersejarah ini kurang terpelihara. Banyak atap
yang bocor; lantai marmer yang pecah dan kayu yang lapuk dimakan usia.
Kami juga mendaki ke bukit di atas Danau Aneuk Laot untuk melihat Kota
Sabang dari ketinggian.
Pulau Sabang bukan tempat yang baik untuk
bertani karena hama babi hutan yang sulit untuk diberantas. Karena itu
mayoritas penduduk di Lhok Iboih memilih untuk menggantungkan hidup dari
usaha persewaan penginapan; perahu hingga alat selam, selain dari
membuka warung makan. Pak Rahmat yang berasal dari Aceh Tengah
menceritakan tentang pahitnya bertani tapi berhasil di usahanya
menyewakan perahu motor.
Kembali ke Banda Aceh kami melalui jalur
timur Sabang. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan tepi laut
Andaman yang bening. Pasir pantai dibawah laut yang bening menyebabkan
air terlihat berwarna hijau tosca bergradasi biru di tempat perairan
yang semakin dalam.
Dari Banda Aceh kami menuju ke Lhok Nga
dan menginap di Pantai Kuala Krueng Raba. Tempat ini juga mengalami
kerusakan parah ketika gelombang Tsunami setinggi tiga kali pohon kelapa
menerjang. Di sini juga ada laguna yang berair jernih dan digunakan
oleh anak-anak penduduk setempat untuk berenang.
Keesokan harinya kami menuju ke Meulaboh.
Melintasi jalanan beraspal mulus bikinan Amerika. Mungkin ini adalah
jalanan termulus di Indonesia sepanjang lebih dari 90 kilometer. Di kota
Meulaboh ada banyak saluran internet gratis yang disediakan oleh
kedai-kedai kopi. Sama dengan di Banda Aceh dan Takengon. Tempat dimana
masyarakat dari berbagai kalangan di kota berkumpul; minum kopi sambil
berbagi segala informasi.
Organisasi Radio Antar Penduduk
Indonesia di Meulaboh sudah memantau sejak kami memasuki kota. Salah
seorang dari mereka mendatangi dan mengajak kami menuju ke lokasi tempat
kami bisa membuka tenda di pantai.
Pada pukul 1 pagi harinya, suhu udara
mendadak turun. Terjadi badai disertai hujan lebat di laut yang berimbas
ke darat. Tenda-tenda kami miring terdorong angin. Suasana sangat
mencekam. Baru kali ini kami merasakan badai. Kami mendirikan tenda
diatas tanah yang cekung sehingga air hujan membuat genangan dan masuk
ke dalam tenda dan membuat kami tidak bisa tidur hingga badai mereda
pada pukul 6 pagi.
Meulaboh kami tinggalkan menuju ke Tapak
Tuan. Kota kecil ini mempunyai banyak lokasi wisata religi dan sejarah.
Kami melihat jejak telapak kaki sepanjang kira-kira 3 meter. Dari
telapak kaki inilah nama Tapak Tuan berasal, yaitu telapak kaki Tuan
Tapa, seorang petapa yang diyakini adalah salah seorang dari Aulia 44,
penyebar ajaran Islam yang datang melalui Barus. Kami juga mengunjungi
sebuah rumah yang dulu digunakan oleh Bung Hatta beristirahat dalam
perjalanannya keliling Aceh pada tahun 1958 untuk mempererat persatuan
dan kesatuan bangsa. Disayangkan rumah ini berubah fungsi menjadi rumah
makan.
Dari Tapak Tuan kami menuju ke
Subulussalam. Kota terakhir di Propinsi Aceh bagian timur/selatan.
Propinsi Aceh kami tinggalkan menuju ke Samosir melalui Pangururan. Di
Samosir kami kesulitan mendapatkan izin untuk membuka tenda. Semua
pengunjung diarahkan untuk ke penginapan yang banyak terdapat di Tuktuk.
Kami berkunjung ke situs pengadilan zaman raja-raja di Samosir. Kami
juga sempat melihat pertunjukan Sigale-gale, yaitu sebuah boneka yang
konon zaman dulunya bisa menari sendiri. Tidak ada tenaga orang yang
menggerakkan.
Dari Samosir kami menyeberang ke Prapat
menggunakan kapal feri. Di Balige kami berkunjung ke Makam
Sisingamangaraja XII yang gugur bersama kedua putranya: Patuan Anggi dan
Patuan Nagari sewaktu berperang melawan penjajahan Belanda.
Perjalanan teramat panjang kami tempuh
ketika menuju ke Payakumbuh. Kami harus menginap di pom bensin di jalan
antara Sipirok dan Padang Sidimpuan. Garis ekuator di Bonjol kami lalui
persis di tengah malam.Di Payakumbuh kami berkeliling ke berbagai
tempat. Kami berkunjung ke Istana Pagaruyung. Dahulu merupakan pusat
pemerintahan Kerajaan Melayu. Kami juga berkunjung ke tambang batubara
tua di Sawahlunto; bertemu dengan keturunan Orang Rantai, yaitu tahanan
politik atau kriminal zaman Belanda. Orang-orang yang dianggap
membahayakan keamanan dan ketertiban pada waktu itu.
Di Lembah Harau kami melihat
tebing-tebing granit vertikal setinggi 150 hingga 200 meter. Lembah
Harau sudah dikunjungi orang dan menjadi obyek wisata sejak tahun 1926.
Di sini ada banyak air terjun. Dalam bahasa setemat disebut ‘sarasah’.
Ada Sarasah Murai, tempat burung murai mandi; ada Sarasah Bunto. Di
bawah air terjun-air terjun ini ada kolam alami yang digunakan oleh
pengunjung untuk berenang.
Di Maninjau kami mencicipi penganan khas,
yaitu Palai Rinuak. Sejenis pepes dengan bahan baku utama Ikan Rinuak.
Sejenis ikan teri air tawar yang hanya hidup di Danau Maninjau. Kami
juga merasakan nikmatnya mandi di danau dan sungai.
Di Danau Singkarak kami menginap di rumah
Tetua Nagari, wilayah setingkat kelurahan. Perburuan babi di daerah ini
terihat lebih taktis dengan pasukan anjing yang lebih banyak. Tentara
Pelacak diturunkan. Tentara Penyergap siaga satu menunggu aba-aba.
Ketika musuh ditemukan, semua Tentara Penyergap segera menuju ke lahan
pertarungan.
Danau Singkarak adalah tempat berkembang
biak Ikan Bilih. Arus air danau berputar berkeliling mengikuti arah
jarum jam. Ikan Bilih bergerak mengikuti arus tersebut sehingga
populasi-nya hanya ada di satu titik pada satu waktu tertentu. Alam
sudah mengatur pembagian rezeki secara merata. Melihat keindahan Danau
Singkarak dari atas bukit Pusaran Angin, kami hanya bisa terdiam. Di
belakang kami ada Gunung Marapi dan Gunung Singgalang. Sementara di
kiri kami ada gugusan pegunungan Bukit Barisan.
Kami juga sempat berkunjung ke rumah
Datuk Ibrahim TanMalaka. Keadaan rumahnya begitu memprihatinkan.
Sebagian atap lapuknya diganti oleh dana swadaya masyarakat setempat.
Begitu juga halnya dengan rumah tempat Syafruddin Prawiranegara
mengungsi pada tahun 1958-1960. Terpencil di sudut. Di belakang sebuah
masjid yang juga kuno.
Di Payakumbuh kami juga menikmati Dadiah,
susu kerbau yang difermentasikan di dalam tabung bambu dan disajikan
dengan gula aren. Kami juga sempat mencicipi Kawa Daun: rebusan daun
kopi Arabika yang sudah dipanaskan di atas api.
Sumatra Barat kami tinggalkan untuk
menuju ke Tembilahan. Melintasi konstruksi jembatan layang di Kelok 9.
Jembatan ini dibuat untuk melancarkan arus lalu lintas antara Sumatra
Barat dan Riau. Kelokannya tajam dan sempit. Kendaraan yang naik dan
turun harus bergantian. Riau sangat panas. Berkali-kali kami harus
berhenti untuk minum sehingga waktu tempuh menjadi lambat. Tembilahan
sendiri dikenal sebagai Negeri Seribu Parit. Terhitung ada 56 jembatan,
termasuk Jembatan Rumbai yang melintasi Sungai Indragiri.
Dari Tembilahan kami menuju ke Jambi
melalui jalan pintas. Tidak melalui Rengat karena akan memutar terlalu
jauh. Kami melalui Kilo Lapan; Kotabaru; Keritang hingga Kemuning
melintasi jalur tanah berdebu tebal atau campuran pasir batu sepanjang ±
40 KM. Keadaan jalan seperti ini sudah sejak tahun 2001. Masyarakat
sudah terlalu skeptis akan adanya perbaikan.
Bergerak menuju ke Palembang, kami
melalui jalur lintas timur yang rawan kecelakaan. Lintasan dipenuhi oleh
truk besar. Berita tentang kenaikan Bahan Bakar Minyak membuat
masyarakat di sepanjang jalan yang kami lalui membuat kelompok antrian
di tiap pom bensin. Jalanan macet di setiap pom bensin. Antrian bisa
sepanjang 1 kilometer. Rakyat kecil ditampar lalu diberi balsem BLTM.
Kasihan!
Di Palembang kami menikmati pemandangan
Jembatan Ampera yang bermandi cahaya di malam hari. Kami juga mencicipi
Martabak HAR. Martabak telur seperti adonan biasa namun diberi kuah
kari yang dicampung kentang rebus. Sangat terkenal di Palembang. Tentu
saja kami juga menikmati pempek, makanan khas Palembang.
Dari Palembang kami menuju ke Lampung.
Berkendara di lintas timur pada jalur ini membuat kami harus sangat
waspada karena banyak antrian truk dan bus berbadan besar. Kami
menyeberang ke Merak pada pukul 2 dini hari. Jatah waktu 50 hari yang
kami miliki sudah selesai. Tinggal menyisakan waktu untuk pulang ke
Jakarta.
Lepas dari Pelabuhan Merak kami saling
berpamitan dan bersalaman di sebuah pom bensin. Kami akan melanjutkan
perjalanan menuju ke tempat tinggal masing-masing.
Perjalanan menjelajah Sumatra sudah
selesai. Jarak 8000 KM sudah kami tempuh. Belum dihitung berapa menit
‘footage’ dan jumlah foto yang dibuat. Lelah, namun senang dan puas.
Kami bertemu dengan banyak saudara. Kami menjumpai banyak tempat yang
indah. Pengalaman kami bertambah. Sekian banyak hal yang kami lalui
bersama membuat kekerabatan diantara kami semakin bertambah. Sedih hati
saat berpisah.
Kami berterimakasih kepada semua yang
telah me’like’ fanpage ini; memberikan segala saran, masukan dan
kritikan. Hakekatnya, ini adalah perjalanan kita semua. Kami
berterimakasih kepada semua pihak yang sudah memberikan dukungan moril
dan materil. Terimakasih kepada TVS; Respiro; Sinnob; Eiger dan 7Gear
juga Proman. Terimakasih juga kepada MotorExpertz.com; Gilamotor.com;
Majalah Tamasya juga Adira Motomaxx. Terimakasih kepada Jakarta Road
Survival.
Sumber : Tim Sap7aranu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar